APAKAH INI CINTA?
Pertanyaan teman kuliahku membombardir tekadku untuk menyimpan kisah cinta yang telah lalu.
Mulailah aku mencoba menyusun puzzle kehidupanku untuk menjawabnya.
Aku pulang ke daerah setelah menyelesaikan studi S1 ku di Kota Apel tanpa sesosok gadis impian yang bisa aku ajak menemani merajut masa depan.
Setelah aku berusaha keras, sangat keras bahkan untuk menawarkan seonggok cinta kepada seorang gadis berakhir dengan hampa. Rasanya gak ada lagi gadis yang seperti itu dan aku yakin bahwa itu satu-satunya.
Aku malas keluar rumah. Apalagi aku ini sudah sarjana. Kalau lontang-lantung di luar.. "apa kata dunia ?".
Malu!
Mungkin kegundahanku ini ditangkap oleh Pak De. Diajaknya aku main ke rumahnya di Sebuah desa di selatan kota berjarak 60 km.
Rumah Pak De di pinggir sawah. Benar -benar dipinggir cuman terhalang satu rumah di sebelah timurnya. Di depan rumah mengalir sungai dimana setiap pagi dan sore banyak orang mandi dan mencuci pakaian, bahkan ada yang buang kotoran juga. Airnya "buthek" berwarna kecoklatan.
Pagi itu aku terbangun agak kesiangan, walaupun masih tersisa waktu untuk sholat subuh.
Aku duduk di teras rumah. Perhatianku tertarik dengan suara sapulidi gemeresek beradu dengan tanah. Ku tolehkan pandanganku ke arah suara itu.
Euy! ternyata ada cewek !
Tingginya sekitar 160 m dengan rambut ikal sebahu. Pakaianya sederhana. Sepertinya bawahannya warna coklat seragam pramuka. Kulitnya putih bersih .
Sadar kalau ada orang yang memperhatikannya. Dia menoleh ke arahku. "Ahai ...lumayan juga cewek ini" pikirku. Menurutku kekuatan wajahnya ada di bibirnya yang tipis dan simetris.
Ketika kita bertatap mata muka dia tersenyum malu. Walau tak bisa menyembunyikan gurat kesedihan yang terlihat menghitam di kantung matanya. Sepertinya dia beberapa hari menangis. Setelah tertegun sejenak dia segera sadar dan lari ke dalam rumah dengan malu-malu.
Aku dikenalkan oleh Pak De setelah sholat magrib berjamaah di musholla depan rumah . Ternyata masih saudara. Dia anak dari kakak isteri Pak De. Pak De ku ini adalah seorang duda yang mengawini janda Bulik dari cewek tadi.
Entah karena aku sedang nganggur dan kesepian, pertemuan awal itu berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Selalu di awali ajakan Pak de untuk bertandang ke rumahnya.
Aku merasa akulah yang mendominasi pertemuan-pertemuan itu. Seperti biasa Aku banyak cerita tentang masa laluku, kehidupan heboh di kampus, harapan-harapanku bahkan kisah cintaku. Tentu saja terselip cerita episode heboh itu.
Dia hanya senyum dan setia mendengarkan.
Semakin hari semakin tambah akrab.
Bahkan ketika aku terbaring sakit di rumah, dia datang menjenguk.
Hatiku mulai bimbang. Apakah dia wanita yang dikirim Alloh untuk mendampingiku. Tapi segera aku tepis lamunanku itu. Bukan seperti ini wanita yang aku idam-idamkan.
Lagi pula siapa aku ini?. Laki-laki penganggur dan tak berharta waris. Untuk sekedar datang berkunjung saja masih mengandalkan uang saku dari orangtua.
Lantas apa arti kebersamaan kita ini?.
Maka aku mencoba untuk menarik diri membatasi tak datang bertandang ke rumah dia.
"Ndilalah" ada saja yang membuat kita bertemu. Kali ini dia yang giliran sakit. Badannya demam akibat luka kakinya yang terkena knalpot. Tentu saja aku berkunjung untuk membalas kebaikannya dulu menengokku.
Sebelum pulang, Pak de memanggilku untuk berbincang di dapur. Beliau tahu aku dilanda kegalauannya soal hubungan ini. Beliau menasehatiku dengan menceritakan hal tentang dia yang sebelumnya tidak pernah aku dengar dari dia sendiri. Sebenarnya sebelum kenal aku, cewek ini sudah menjalin hubungan cukup serius dengan pemuda desa ini yang merantau di Surabaya untuk bekerja. Bahkan sudah sampai pada tahap yang melibatkan keluarga. Walaupun belum secara resmi dilamar , tapi wakil keluarga menegaskan bahwa hubungan mereka bisa dilanjutkan ke tahap pernikahan. Tinggal menunggu waktu yang tepat.
Tapi entah karena apa , selama penantian itu sang pemuda justru meninggalkannya dan kabarnya segera menikah dengan wanita lain di Surabaya.
Menutup cerita itu, Pak De meminta ke padaku :
" Kalaupun kamu belum bisa menerima dia, lakukan dengan bijaksana. Jangan sampai menyakiti hatinya.!"
Semenjak itu perasaanku menjadi berganti iba setiap kali melihat Dia. Ternyata itulah yang menjelaskan mengapa ditengah lepas tawanya, selalu terlihat ada guratan kesedihan di matanya.
Suatu malam saat kita berdua berjalan di bawah purnama di antara pohon saman depan rumah. Aku mencoba memancing pembicaraan agak serius dengannya :
" Dik menurutmu ada hubungan apa sih diantara kita ini? "
Sambil tersenyum malu dia pukul pundakku
"Ah sampeyan itu lucu.. Ada -ada saja pertanyaannya. Lha menurut sampeyan apa lho? "
Dia balik bertanya.
" Aku ini sarjana penganggur, beraninya membawa gadis jalan-jalan? .
"Apa gak ada yang marah nanti?"
Tawanya berderai dan mendorong aku agak keras
" Ya ada to Mas, kalau sampeyan terlalu malam disini! , itu lho hansip yang marah".
Jawabnya .
"Aku ini juga seorang pemuda yang bisa kuliah karena dibiayai sama kakaknya dengan harapan agar nanti bisa ganti membiayai adik-adiknya sekolah".
Mendengar itu, kulihat sikapnya mulai sedikit berubah . Tapi dia berusaha tetap santai sambil senyum dia berkata :
"Masku yang baik. Jangan sampai sampeyan terbebani karena aku. Sampeyan boleh pergi kapan saja atau tinggalkan aku kapan saja. Ini serius lho.. Aku senang dan terimakasih Mas mau menemaniku selama ini. Kita khan belum ada ikatan apapun! Iya khan? "
Jawaban itu begitu tegas dan langsung. Malah akhirnya membuat aku yang kelimpungan:
"apakah aku yang terlalu GR? ,apakah karena aku sarjana lantas kuanggap otomatis dia senang aku?"
"Berarti gak apa-apa aku tinggalkan? "
Pikirku
"Bagaimana nanti kalau dia bertambah nelangsa? Bukankah kemarin baru saja terluka hatinya? "
Riuh hatiku memperbincangkannya.
Sementara itu keluarganya semakin welcome saja denganku.
Sekarang kalau makan malam aku malah gak makan di rumah Pak De. Tapi Gadis itu yang masak.
Masakan andalannya adalah sayur sop dengan lauk gimbal jagung.
Bapaknya petani utun yang kegiatan hariannya hanya ke sawah dan mengimami jamaah sholat di musholla depan rumah Pak de. Kalau aku tanya masalah pertanian, dengan semangat Beliau menerangkan kegiatan beliau mulai tandur sampai panen.
Tak terasa karena begitu seringnya aku berkunjung ke rumah Pak De , kita sepertinya sudah menjadi sebuah keluarga baru.
Aku merasa seperti di persimpangan jalan. Antara meninggalkan Dia atau mengikuti perasaanku yang tak mau menambah luka di hatinya. Karena perasaanku mengatakan bukan seperti Dia, gadis yang Aku dambakan .
Bukankah aku menginginkan seorang gadis yang berpendidikan dan wanita karier ?
Seperti gadis yang kukejar-kejar selama ini. Tapi entah mengapa perasaanku tetap ingin bersamanya.
Secara lahiriah Aku tidak bisa lagi dipisahkan dengannya.
Apakah ini cinta?
Yang jelas sekarang Aku tak sanggup hidup tanpa Dia.
Cie cie..! 😄
Komentar